jump to navigation

Pendidikan Kewarganegaraan 15 Juni 2009

Posted by supardiyo in Semester I.
Tags: , ,
add a comment

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada Tahun 2005 telah dikeluarkan Permendiknas No. 22 Tentang Standar Isi dan No. 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Selain itu dikeluarkan pula Permendiknas No. 24 yang mengatur tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka mulai diterapkanlah Stándar Isi dan Stándar Kompetensi Lulusan pada beberapa sekolah di seluruh Indonesia, khususnya pada sekolah-sekolah yang telah memiliki kesiapan untuk melaksanakannya.

Setelah diterapkan selama lebih kurang satu tahun, maka perlu dilakukan pemantauan atau bahkan pengkajian terhadap dokumen dan pelaksanaan Stándar Isi. Dalam kerangka itu Permendiknas No. 24 telah menegaskan paranan Balitbang, khususnya Pusat Kurikulum dalam kegiatan pengkajian dalam rangka pengembangan model-model kurikulum. Dalam Permendiknas tersebut ditegaskan bahwa salah satu Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pusat Kurikulum adalah melaksanakan pengkajian Standar Isi dalam pengembangan kurikulum untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta kejuruan. Salah satu yang menjadi bagian dari kajian tersebut adalah melakukan kajian kurikulum dari berbagai mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pengembangan model-model kurikulum yang menjadi tanggung jawab Pusat Kurikulum.

Untuk melaksanakan kegiatan tersebut perlu dilakukan serangkaian kegiatan analisis dan kajian kurikulum, khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

B. Landasan Yuridis

Kegiatan kajian ini dilaksanakan berdasarkan landasan yuridis sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1).

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.

5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.

6. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Tahun 2005-2009.

C. Tujuan

Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap dokumen dan pelaksanaan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 1

pengembangan kurikulum mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan secara terus-menerus dan berkesinambungan.

Secara khusus tujuan kegiatan kajian ini adalah untuk:

1. mengkaji kebenaran dan relevansi konsep dalam Standar Isi dengan tujuan dan landasan filosofis, yuridis, sosio-cultural, sosio-pedagogis, dan perkembangan keilmuan terkini.

2. mengkaji keluasan dan kedalaman cakupan materi dalam Standar Isi sesuai level perkembangan peserta didik dan jumlah jam pelajaran yang tersedia.
3. mengkaji sekuensa atau keruntutan antarkonsep yang terdapat pada Standar Isi.
4. mengkaji keterlaksanaan Standar Isi dalam praktik pembelajaran, baik oleh guru (khususnya dalam mengembangkan silabus dan RPP) maupun oleh siswa dalam proses pembelajaran.

5. memberikan masukan kepada BSNP dalam rangka perbaikan implementasi dan penyempurnaan Standar Isi.

D. Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup kegiatan kajian ini terdiri dari:
1. Lingkup Jenis dan Jenjang Pendidikan:
a. Pendidikan Dasar terdiri atas :Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

b. Pendidikan Menengah terdiri atas: Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan.

2. Lingkup Mata Pelajaran: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaran.

E. Metode dan Tahapan Kajian

Metode yang digunakan dalam kegiatan kajian ini adalah:
(1) Seminar, yang dimaksudkan untuk mengetahui kurikulum dan model kurikulum masa depan, khususnya tentang Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan.

(2) Studi dokumen, yaitu untuk mengkaji dokumen Standar Isi, khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(3) Studi lapangan, yaitu meminta para guru PKn untuk memberikan analisis dan

tanggapan terhadap keterlaksanaan Standar Isi dalam pembelajaran di sekolah.
(4) FGD (Focus Group of Discussion), dengan melibatkan para pakar dan stakeholders terkait dengan Pendidikan Kewarganegaraan untuk menetapkan fokus kajian, menganalisis hasil-hasil seminar dan temuan kajian dan merumuskan hasil akhir kajian.

Kegiatan kajian ini dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

(1) Penyusunan desain untuk menetapkan fokus kajian,

(2) Melakukan kajian dokumen Standar Isi,
(3) Kajian pelaksanaan standar isi,
(4) Diskusi hasil kajian dokumen standar isi,
(5) Diskusi hasil kajian pelaksanaan stadar isi,
(6) Studi dokumentasi standar isi,
(7) Analisis data hasil kajian,
(8) Penyusunan hasil kajian,
(9) Presentasi hasil kajian, dan
(10) Penyusunan laporan.

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 2

TINJAUAN TEORITIS

A. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Watak dan Peradaban bangsa Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara Pancasila. Atau dengan perkataan lain merupakan pendidikan Pancasila dalam praktek. Secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dapat dilihat sebagai suatu integrated knowledge system (Hartonian: 1996, Winataputra:2001) yang memiliki misi menumbuhkan potensi peserta didik agar memiliki “civic intelligence” dan “civic participation” serta

“civic responsibility” sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila (Winataputra, 2001, 2006).

Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga tataran, yakni: pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah), sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan (proses nation’s character building).

1. Pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler

Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra:2001). Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Di negara lain kemasan kurikuler serupa itu dikenal sebagai civic education dalam konteks wacana pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis menurut konstitusi negaranya masing-masing. Sebagaimana berkembang di berbagai belahan dunia, tercatat adanya berbagai

nomenklatuur untuk itu, yakni: “Citizenship education” (UK), termasuk di dalamnya “civic education” (USA) atau disebut juga pendidikan kewarganegaraan (Indonesia), atau “ta’limatul muwwatanah/at tarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau “educacion civicas” (Mexico), atau

“Sachunterricht” (Jerman) atau “civics” (Australia) atau “social studies” (New Zealand) atau “Life Orientation (Afrika Selatan) atau “People and society”

(Hungary), atau “Civics and moral education” (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001). Semua itu merupakan wahana pendidikan karakter ( character education) yang bersifat multidimensional (Cogan and Derricott: 1998) yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.

Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dikenal dua muatan wajib yakni

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 3

pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah dua muatan wajib ini dirumuskan menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sedang di Perguruan Tinggi dirumuskan menjadi dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan. Pada tahun 1985 mata kuliah Pendidikan Kewiraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan ini ternyata menimbulkan kesan di kalangan komunitas dosen pengasuh kedua mata kuliah itu bahwa Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan dua kemasan kurikuler yang berbeda. Pendidikan Pancasila dianggap sebagai kemasan kurikuler untuk pendidikan nilai-nilai Pancasila, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kemasan kurikuler pendidikan kewiraan dan pendidikan pendahuluan bela negara. Adanya dua persepsi ini ternyata masih terbawa sampai saat ini, ketika memahami konsepsi muatan pendidikan kewarganegaraan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dualisme ini masih menyisakan kontroversi tentang perlu tidaknya di perguruan tinggi ada dua mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang sama-sama merupakan wahana kurikuler pendidikan nilai-nilai Pancasila, yang secara filosofik dan substantif-pedagogis merupakan pendidikan kewarganegaraan ala Indonesia.

Sesungguhnya, bila kita kembali pada konsepsi bahwa setiap negara memerlukan wahana edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dan menjamin kelanggengan kehidupan negaranya, maka dualisme persepsi antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak perlu terjadi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya untuk Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu adalah pendidikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu dengan cara berfikir konsistensi dan keherensi, pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah pendidikan Pancasila, atau Menurut Heri Ahmadi yang bersama dengan Noor Syam dan penulis menjadi pembicara dalam Seminar Pendidikan dan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila pada tanggal 8 Juni 2006 di Jakarta, kemudian disepakati sebagai kesimpulan Seminar tersebut, ditegaskan bahwa core dari pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah Pancasila. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia secara filosofik dan substantif-pedagogis/andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan.

Untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah, komitmen utuh telah dicapai sesuai dengan legal framework yang ada, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib pada semua satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Aspek-aspek yang menjadi lingkup mata pelajaran ini, mencakup persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan peraturan, hak azasi manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaaan dan politik, Pancasila, dan globalisasi. Walaupun dalam enumerasinya Pancasila ditempatkan sejajar dengan aspek lain, namun dalam pengorganisasian isi dan pengalaman belajar hendaknya ditempatkan sebagai core atau concerto dalam orkestrasi kesemua aspek untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan Pancasila secara generik. Dengan demikian untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 4

dikembangkan pendidikan kewarganegaraan yang koheren dengan pendidikan nilai-nilai Pancasila.

Untuk pendidikan tinggi sebaiknya bagaimana? Peserta didik di perguruan tinggi adalah pemuda dan orang dewasa yang mulai matang, bukan anak usia sekolah yang secara psikologis masih dalam proses perkembangan menuju kematangan. Secara multidimensional Pancasila dapat kita bagi dalam tiga tataran, yakni (a) Pancasila pada tataran filosofik-ideologik, (b) Pancasila pada tataran instrumental-sociokultural, dan (c) Pancasila pada tataran psikososial-individual dan kolektif. Pada tataran filosofik-ideologik Pancasila perlu dilihat sebagai integrated knowledge system yang memiliki dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang seyogyanya dikaji secara akademik/ilmiyah. Dalam konteks ini Pancasila harus dilihat sebagai ideologi terbuka untuk pengembangan secara keilmuan.

Pada tataran instrumental-sociokultural Pancasila merupakan sistem nilai yang menjadi ingredient dan spirit/ ethos dari keseluruhan sistem konstitusi dan kehidupan berkonstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini

Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai dan moral yang melandasi kelembagaan, norma, dan mekanisme kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai parameter untuk menakar nilai substatif dari keseluruhan instrumentasi kehidupan kebernegaraan Indonesia, yang seyogyanya dikaji secara normatif-inferensial. Pada tataran psikososial-individual dan kolektif, Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai moral yang seyogyanya diwujudkan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial-kultural individu dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai sumber rujukan prilaku yang perlu diinternalisasi oleh individu dalam perannya sebagai anggota masyarakat, komponen bangsa, dan warga negara Indonesia.

Dengan argumen tersebut, ada dua alternatif pengemasan pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Pertama, konsisten dengan pasal 37 UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, ketiga tataran pendidikan Pancasila (filosofik-ideologik, tataran instrumental -sociokultural dan psikososial-individual dan kolektif) dikemas utuh dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, dengan beban belajar 3-4 sks. Kedua, secara kurikuler, pendidikan Pancasila dikemas dalam dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dengan beban belajar masing-masing 2 sks. Mata kuliah Kajian Pancasila yang dikembangkan sebagai program kurikuler yang mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran filosofik-ideologik dan instrumental-sosiokiltural, sedangkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dikembangkan sebagai program kurikuler yang mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran psikososial individual dan kolektif.

Sebagai benchmark, marilah kita lihat konsep civic education secara generik-akademik, yang di Indonesia disebut pendidikan kewarganegaraan dalam makna generik pendidikan Pancasila, kini menjadi konsep yang lebih multifaset. Adalah CIVITAS International (2006) yang merumuskan kosep tersebut secara lebih luas seperti berikut.

“Civic education involves many things: the study of constitutions; the rule of law and the operations of public institutions; the study of electoral processes;instruction in the values and attitudes of good citizenship; the development of the skills of government and politics; issues of human rights and intergroup relations; and conflict resolution.Civic education is

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 5

pedagogy, encompassing education and training of both youths and adults in and outside of schools. Civic education can also take place through radio and televition broadcasting and othr means. Distance learning techniques are increasingly important, particularly in the developing world.

2. Pendidikan Pancasila sebagai Proses Pendidikan: Praksis Pembelajaran

Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksi sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah.

Dalam kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila. Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan.

3. Pendidikan Pancasila sebagai Upaya Sistemik Membangun Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan: Proses nation’s character building.

Gerakan reformasi yang masif di Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an, telah berujung dengan jatuhnya Presiden Soeharto selaku penguasa Orde Baru. Kemudian naiknya Presiden Habibie telah berhasil memancangkan tonggak awal demokratisasi berupa kebebasan pers yang bertambah luas, Pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Lalu terpilihnya Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah memungkinkan reformasi demokrasi terus berlanjut. Dengan naiknya Presiden Megawati Soekarnoputri (Mbak Mega) reformasi demokrasi terus bergulir. Pada kurun waktu tiga Presiden pasca Soeharto inilah dihasilkan Perubahan ke 1 sampai ke 4 atas UUD 1945 yang secara konseptual dan normatif diyakini merupakan konstitusi yang lebih mewadahi cita-cita dan demokrasi yang tepat untuk Indonesia. Atas dasar UUD 1945 yang telah diamandemen ini untuk pertamakalinya diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, yang mengantarkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Mohamad Jusuf Kala (MJK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan Pancasila seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya atas batang tubuh UUD 1945 kehidupan berkonstitusi mengalami banyak perubahan baik pada tataran instrumental maupun pada tataran praksis. Proses demokratisasi di Indonesia yang

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 6

berdasarkan Pancasila telah menjadi semakin luas jangkauannya dan semakin tinggi intensitasnya. Namun demikian ternyata semakin banyak pula anomalinya pada semua tataran, seperti disharmoni antar peraturan perundang-undangan pada tataran instrumental, dan fenomena proses demokrasi yang cenderung anarkhis. Selain dalam Upacara dimana Pancasila dibaca serempak dibawah pemandu Pembina Upacara, tampaknya banyak pejabat, dosen, atau tokoh masyarakat yang malu-malu kucing menyebut Pancasila. Keadaan ini memang benar-benar menyedihkan. Apakah hal ini mencerminkan bahwa telah terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dari instrumentasi dengan idea dan sistem nilai Pancasila?

Fenomena tersebut di atas, memberi ilustrasi bahwa ternyata untuk membangun kehidupan berdemokrasi konstitusional yang berdasarkan Pancasila itu tidaklah semudah yang diduga kebanyakan orang, karena memang kehidupan demokrasi konstitusional tidak bisa dibangun seketika atau dalam waktu singkat. Sangat banyak faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam suatu negara. Bahmuller (1996:216-221) menidentifikasi sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: “…the degree of economic development; …a sense of national identity; …historical experience and elements of civic culture.” Maksudnya adalah bahwa tingkat perkembangan ekonomi, kesadaran identitas nasional, dan pengalaman sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang terpancar dari nilai-nilai Pancasila mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan yang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan adanya dan berperannya pendidikan pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya Pacasila yang menjadi inti dari masyarakat madani-pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.

Masyarakat madani-Pancasila atau “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila, perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 7

publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Secara teoritik, konsep civic culture atau budaya Pancasila terkait erat pada perkembangan democratic civil society atau masyarakat madani-Pancasila yang mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat sivil yang demokratis tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai komitmen untuk memperlakukan semua wara negara sebagai individu dan memperlakukan semua individu secara sama. Secara spesifik civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose of shaping civic identities- atau seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara. Oleh karena itu Civic culture merupakan salah satu sumber yang sangat bermakna bagi pengembangan dan perwujudan civic education (http://www.civsoc.com/nature/nature1). Sementara itu budaya politik atau political culture diartikan sebagai Distinctive and patterned way of thinking about how political and economic life ought to be carried out, atau pemikiran yang khas dan terpolakan tentang bagaimana kehidupan politik dan ekonomi seharusnya diselenggarakan, dalam pengertian diwujudkan (http://www.socialstudies help.com/ APGOV _Notes_WeekFour.). Dari kedua pengertian tentang civic culture dan political culture dapat dikatakan bahwa civic culture berada dalam domain sosiokultural yang berorientasi pada pembentukan kualitas personal-individual warga negara, jadi bersifat psikososial. Sedangkan political culture berada dalam domain makro masyarakat negara, jadi bersifat sosiopolitis dalam konteks kehidupan demokrasi. Keduanya memiliki kesamaan yakni sebagai hasil pemikiran yakni civic culture sebagai perangkat gagasan atau set of ideas sedangkan political culture sebagai perangkat pemikiran atau distinctive and patterned way of thinking. Perbedaannya adalah dalam hal civic culture berkenaan dengan proses adaptasi psikososial individu dari ikatan budaya komuniter (keluarga, suku, masyarakat lokal) ke dalam ikatan budaya kewargaan suatu negara/ kewarganegaraan.

Secara konseptrual antara civic culture dengan political culture satu sama lain memiliki saling ketergantungan (interdependence). Di satu pihak civic culture memberi kontribusi dalam membangun identitas kewarganegaraan atau ke-Indonesiaan setiap warga negara, termasuk para pelaku politik dalam berbagai latar. Dengan demikian prilaku politik dari para pelaku politik seperti anggota dewan perwakilan rakyat, para pejabat negara dan organisasi non-pemerintah secara substantif dan praksis menggambarkan karakter ke Indonesiaan, bukan karakter komunitarian suku, agama, golongan dan partai politik. Di lain pihak, political culture memberi kontribusi dalam membangun konteks sosial, politik,

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 8

ekonomi, dan kultural yang memungkinkan warga negara baik secara perseorangan maupun kelompok mau dan mampu berpartisipasi secara cerdas (intelligent) dan bertanggungjawab (responsible) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture perlu dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah …the willingness of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of the common good (Quigley, dkk,1991:11)- atau kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic commitments. Sebagaimana dirumuskan oleh Quigley,dkk (1991:11) yang dimaksud dengan civic dispositions adalah …those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic committments adalah …the freely-given, reasoned committments of the citizen to the fundamental values and principles of constitusional democracy atau komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional. Kedua unsur dari civic virtue tersebut diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara efektif untuk memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan memberi kontribusi terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik termasuk …protection of the rights of the individual” atau pelindungan hak-hak azasi manusia (Quigley, dkk,1991:11) Proses politik yang berjalan dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan memberi kontribusi berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan politik yang ditopang kuat oleh civic culture.

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan , generosity atau kemurahan hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14). Kesemua itu, yakni keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keragaaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik dari sikap warganegara. Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 9

fundamental demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang meliputi…popular souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation of powers, checks and balances, minority rights, civilian control of the military, separation of church and state, power of the purse, federalism, common good, individual rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit of happiness), justice, equality (political, legal, social, economic), diversity, truth, and patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16). Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak minoritas, kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan agama, kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,dan kebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air. Tentu saja tidak semua hal tersebut berlaku untuk Indonesia.

Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education, atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan …the knowledge and skills required to participate effectively;…practical experience in participation designed to foster among students a sense of competence and efficacy dan mengembangkan … an understanding of the importance of citizen participation (Quigley, dkk, 1991:39), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the realization of the fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39). Yang dimaksud dengan semua hal tersebut di muka adalah pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara, yang dalam konteks Indonesia harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara normatif dikemukakan bahwa ”Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Sedangkan tujuannya, digariskan dengan dengan tegas, “adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 10

3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya

4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.”

Sementara itu ditetapkan pula bahwa ”Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.”

Berdasarkan Permendiknas N0. 22 tahun 2006 Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan

2. Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional

3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga negara

5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang

pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
Hubungan dasar negara dengan konstitusi

6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka

8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.”

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 11

Namun demikian perlu diberi catatan bahwa enumerasi ke 8 (delapan) substansi, termasuk di dalamnya terdapat Pancasila, memberi kesan yang kuat bahwa Pancasila belum menjadi core-nya PKn. Oleh karena itu sesungguhnya substansi Pancasila harus menjadi core dari ke 7 (tujuh) butir substansi lainnya itu.

Proses pendidikan yang dituntut dan menjadi kepedulian PKn adalah proses pendidikan yang terpadu utuh, yang juga disebut sebagai bentuk confluent education (McNeil:1981). Tuntutan pedagogis ini memerlukan persiapan mental, profesionalitas, dan hubungan sosial guru-murid yang kohesif. Guru seyogyanya siap memberi contoh dan menjadi contoh. Ingatlah pada postulat bahwa Value is neither tought now cought, it is learned (Herman 1966). Nilai tidak bisa diajarkan atau pun ditangkap sendiri tetapi dicerna melalui proses belajar. Oleh karena itu nilai harus termuat dalam materi pelajaran PKn.

PKn merupakan mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional. Ia merupakan pendidikan nilai demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik. Namun yang paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan moral. Oleh karena itu secara singkat PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain sebagai berikut.

1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 45 beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.

2. Sasaran belajar akhir PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari.

3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati (bersifat afektif) dan dilaksanakan (bersifat perilaku).

Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup dalam PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut “educating for character” atau “pendidikan watak”. Lickona mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak (Lickona 1992 : 50-51), yakni

Compatible mix of all those virtues identified by religions traditions, literary stories, the sages, and persons of common sense down through history. Artinya suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan manusia pada umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona (1992, 51) memandang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior atau konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Bila buah pemikiran Lickona (1992) tersebut kita kaitkan dengan karakteristik PKn SD, nampaknya kita dapat menggunakan model Lickona itu sebagai kerangka pikir dalam melihat sasaran belajar dan isi PKn. Setiap nilai Pancasila yang telah dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus memiliki aspek konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.

Contohnya, untuk menanamkan nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn harus menyentuh ketiga aspek seperti berikut:
Konsep Moral
1. Kesadaran perlunya kejujuran
2. Pemahaman tentang kejujuran
3. Manfaat kejujuran di masa depan

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 12

4. Alasan perlunya kejujuran

5. Bagaimana cara menerapkan kejujuran
6. Penilaian diri sendiri mengenai kejujuran

Sikap Moral

1. Kata hati kita tentang kejujuran

2. Rasa percaya diri kita untuk senantiasa berlaku jujur pada orang lain
3. Empati kita terhadap orang yang jujur
4. Cinta kita terhadap kejujuran
5. Pengendalian diri kita untuk selalu berlaku jujur
6. Rasa hormat kita kepada orang lain yang berlaku jujur

Perilaku Moral

1. Kemampuan bersikap dan berlaku jujur

2. Kemauan untuk senantiasa berusaha jujur
3. Kebiasaan untuk selalu bersikap dan berbuat jujur

Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral dikaitkan dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-hal sebagai berikut:

1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai dan moral Pancasila.

2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri peserta didik melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral setiap rumusan butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.

Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada terbentuknya watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri perserta didik. Watak ini pembentukannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi keterpaduan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral Pancasila dan UUD 45. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep, strategi, dan nuansa confluent education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.

B. Kebijakan Kurikulum PKn untuk Masa Depan

Ada beberapa asumsi normatif dan asumsi positif mengenai PKn masa depan, sebagai berikut.

1. Bahwa Pembukaan UUD 1945, tidak akan berubah karena diterima sebagai inti komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI, sebagaimana hal itu menjadi komitmen MPR.

2. Bahwa tatanan kehidupan demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila sebagaimana tersurat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 13

3. Bahwa pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi melalui instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan yang berdasarkan konstitusi. Demokrasi konstitusional dapat diartikan sebagai demokrasi yang berlandaskan pada prinsip negara hukum, yang di dalamnya terkandung kehidupan berdasar pada rule of law yang memberikan implikasi pada pentingnya pendidikan kewarganegaraan untuk menumbuhkan kesadaran hukum warga negara.

4. Bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana psiko-pedagogis pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain akademik, dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia.

5. Bahwa sebagai wahana pendidikan demokrasi, pendidikan kewarganegaraan berfungsi mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang koheren dari konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.

6. Bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, memiliki fungsi sebagai pendidikan untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansial dirancang secara nasional, dan diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.

7. Bahwa pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis yang menjadi missi PKn, tidak bersifat chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit guna menghasilkan warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.

Bertolak dari ke 7 asumsi tersebut, ada beberapa substansi kebijakan nasional tentang Kurikulum PKn Masa depan sebagai berikut.

1. Sebagai sumber ide dan norma inti dari PKn, perlu kajian mendalam terhadap ide dan nilai yang secara substantif terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dalam konteks historis dan sosio-politis tumbuh dan berkembangnya komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI.

2. Sebagai instrumentasi dari ide dan norma inti Pancasila dan UUD 1945, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap tatanan kehidupan demokrasi Indonesia sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

3. Dalam rangka pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia yang mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi Pancasila, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap visi dan missi nasional dari instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan aras pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan.

4. Diperlukan reposisi, rekonseptualisasi, dan reaktualisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana: psiko-pedagogis pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain akademik dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia agar lebih efektif dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai tuntutan zaman.

Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 14

5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi, perlu difungsikan sebagai wahana pendidikan yang mampu mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua unsur bangsa Indonesia secara koheren dengan konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, perlu dirancang secara sistematis dan sistemik untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansial-nasional dapat diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.

7. Perlu dilakukan antisipasi yang komprehensif agar pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis melalui PKn, tidak bersifat chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit dalam menghasilkan warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab dan sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.

Ke 7 (tujuh) substansi kebijakan kurikulum tersebut merupakan kebijakan dasar yang diharapkan menghasilkan pemikiran komprehensif tentang pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia untuk berbagai domain, yang dapat memberi masukan yang secara akademik valid, secara sosio-politis dan sosiokultural akseptabel, dan secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis layak bagi pengembangan dan perwujudan pendidikan kewarganegaraan Indonesia.

Elemen pendidikan kewarganegaraan yang memerlukan reposisi, rekonseptualisasi, dan reaktualisasi untuk masa depan, antara lain:

1. Grand design pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;

2. Kerangka sistemik kompetensi kewarganegaraan lulusan pada berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

3. Kerangka sistemik isi pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

4. Kerangka sistemik proses pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

5. Kerangka sistemik asesmen dalam pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

6. Kerangka sistemik dan programatik pendidikan dan pelatihan guru/tutor pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

7. Kerangka akademik penelitian dan pengembangan pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.